Minggu, 07 Oktober 2018

Karomah sak bithing


TUGAS
BAHASA JAWA


NAMA KELOMPOK :
              1) AVRILIA ENDAH R.S        (22)
 2) DWI LESTARI                (34)
              3) EFIANA MUSLIKATIN       (36)
              4) EKA NURJANAH              (37)









CERPEN BAHASA INDONESIA
Karomah Sebatang Lidi
Tanggal: 9 September , 2018
Cerpen Zainul Muttaqin (Padang Ekspres, 09 September 2018)


          Laki-laki sepuh itu berjalan terpincang-pincang, gerak kakinya pendek-pendek.  Tubuh ringkihnya ditumpukan pada sebatang tongkat di tangan kanannya, takut sewaktu-waktu ia terjatuh. Derai batuk juga menggguncang dadanya berkali-kali, tapi tetap saja ia memaksakan diri berjalan menuju langgar yang ia dirikan di samping rumahnya. Langgar itu dipenuhi oleh anak-anak tetangga yang datang mengaji, selalu setiap hari, setiap menjelang adzan magrib.
           Kiaji Durahman, pemilik langgar sekaligus guru ngaji itu tak pernah menerima imbalan, bahkan ia selalu menolak ketika ada orang tua anak-anak yang mengaji kepadanya berniat salaman, menyelipkan selembar uang pada tangan keriputnya. Serta merta Kiaji Durahman mengucap, “Ilmu saya tidak untuk dijual.
         Langgar itu sengaja dibangun oleh Kiaji Durahman supaya anak-anak bisa belajar mengaji. Hal ini berdasarkan keprihatinan Kiaji Durahman menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri banyak warga kampung Tang-Batang tidak bisa membaca Al-Quran. Hanya ada segelintir orang yang bisa baca, tetapi sangat buruk sekali cara baca Al-Qurannya. Itulah mengapa Kiaji Durahman tak pernah sudi menerima sepeser pun uang dari para orangtua anak-anak itu. Ia juga pernah berkata, “Semoga ini menjadi bekal akhirat.”
      Tidak sedikit pun terlihat gurat kelelahan di wajah Kiaji Durahman ketika ia mengajari anak-anak tetangga itu mengaji, dengan telaten, dengan kesabaran yang teramat tulus untuk ukuran lelaki renta seperti dia. Tidak pernah menyerah Kiaji Durahman mencari cara bagaimana agar anak-anak itu fasih mengaji. Ia mengajarinya mulai dari Alif hingga Ya’ sampai kemudian bisa membaca Al-Quran sendiri, karena orang tua anak-anak itu pasrah sepenuhnya kepada Kiaji Durahman.
       Masrakib terlambat mengantar Ibrahim, anaknya itu untuk mengaji. Sepuluh menit yang lalu adzan berkumandang. Kiaji Durahman menyambutnya di bibir pintu langgar. Masrakib bersalaman, mengatakan pada Kiaji Durahman harus buru-buru pulang karena masih ada pekerjaan di rumah. Ia juga berpesan agar Ibrahim dijaga baik-baik dan diajari mengaji dengan cara baik-baik pula.
      Keterlambatan Ibrahim tiba di langgar Kiaji Durahman mendapat ledekan dari teman-temannya. Dengan suara yang lirih, Kiaji Durahman mengajari Ibrahim mengaji, mengenalkannya pada huruf-huruf hijaiyyah. Sampai saat ini, setelah hampir dua tahun Ibrahim mengaji, belum juga ia bisa mengenali huruf-huruf hijaiyyah, apalagi membaca Al-Quran dengan lancar seperti teman-teman sebayanya. Ia memang tergolong anak yang kurang cepat dalam belajar mengaji, tetapi cepat dalam belajar ilmu-ilmu eksak.
Tidak hanya itu, Ibrahim terbilang paling nakal di antara teman-temannya. Ia sering membuat dada Kiaji Durahman hampir meledak lantaran tingkahnya, untung saja laki-laki sepuh itu selalu saja dapat mengontrol diri, menabahkan diri bahwa Ibrahim bisa menjadi ladang pahala baginya kalau ia sabar menghadapi bocah itu.
Kenakalan Ibrahim kali ini harus membuat Kiaji Durahman memukulkan, lebih tepatnya hanya menyentuhkan sebatang lidi pada paha bocah itu gara-gara Ibrahim tak mau membuka mulutnya untuk mengaji, malah ia meludah ke wajah Kiaji Durahman. Tak lama kemudian Ibrahim menangis, meminta segera pulang, tak mau mengaji lagi. Kiaji Durahman berusaha membujuk, namun justru Ibrahim semakin berang, mengamuk, menendang-nendang tubuh Kiaji Durahman.
Dengan rupa emosi, Ibrahim melempar Al-Quran ke pangkuan Kiaji Durahman. Bocah delapan tahun itu keluar dari langgar, berjalan tergesa-gesa menembus gelap malam hari, pulang sendirian. Tercengang teman-teman sebaya Ibrahim melihat anak lelaki Masrakib itu pulang sebelum pelajaran mengaji selesai. Kiaji Durahman mengelus dada, matanya berair, berdoa diam-diam dalam hatinya, “Semoga Allah memberimu keajaiban sehingga kamu bisa membaca Al-Quran seperti teman-teman sebayamu.”
Ibrahim tiba di rumahnya bertepatan dengan suara adzan isya dari langgar Kiaji Durahman.  Masrakib menyambutnya dengan dahi berkerut seperti garis terombang-ambing. Segera Masrakib bertanya pada anaknya, “Kenapa kamu pulang? Kenapa gak mengaji? Kenapa menangis?” Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab Ibrahim dengan tangis yang kian menderu. Mastini, istrinya Masrakib itu datang memeluk Ibrahim, ia tahu bagaimana cara menenangkan anak, barulah kemudian bertanya perihal apa yang terjadi.
Kemudian Ibrahim menuturkan kejadian di langgar Kiaji Durahman. Ibrahim melebihkan peristiwa itu, mengatakan pada kedua orang tuanya kalau Kiaji Durahman telah memukul pahanya hanya karena Ibrahim tak bisa membaca Al-Quran. Masrkib-Mastini, sebagai orang tentulah tidak terima anak lelaki satu-satunya diperlakukan semacam itu oleh Kiaji Durahman. Wajah Masrakib meradang, ingin rasanya ia memaki, mengumpat dan kalau perlu balas memukul pada Kiaji Durahman.
Mastini menghela napas, coba berpikir paling jernih, bahwa tidak mungkin Kiaji Durahman memukul anaknya. Sepengetahuan Mastini selama ini Kiaji Durahman tak pernah kasar pada semua anak yang mengaji kepadanya. Ia melihat paha Ibrahim, tidak ditemukan bekas pukulan apa-apa. Mastini berkeyakinan Kiaji Durahman hanya menyentuhkan batang lidi pada paha anaknya.
Isi dalam tempurung kepala Mastini dijelaskan kepada suaminya, tetapi Masrakib tetap bersikukuh melabrak Kiaji Durahman. “Pukulan harus dibalas dengan pukulan!” Menggelengkan kepala Mastini melihat tingkah suaminya dirasa diluar batas kewajaran. Masrakib memakai bajunya, bersiap malam ini juga mendatangi Kiaji Durahman.
“Kiaji Durahman itu guru ngaji anak kita. Tidak pantas kau semarah itu padanya. Lagi pula Ibrahim saja terlalu melebihkan. Ia tidak dipukul, hanya disentuh oleh batang lidi Kiaji Durahman.”
“Kenapa Ibrahim bisa sampai menangis?”
“Karena minder. Ia minder belum bisa baca Al-Quran. Nah, pada saat itu Kiaji Durahman menyentuhkan batang lidi ke paha Ibrahim agar ia mengikuti bacaan Kiaji Durahman. Ibrahim yang merasa minder, tidak bisa baca, lalu ia menangis dan malah marah-marah pada Kiaji Durahman.”
“Kenapa Ibrahim belum bisa baca Al-Quran? Itu semua gara-gara Kiaji Durahman tidak becus mengajarinya.”
“Tidak becus?” Mastini berkata dengan nada bertanya, memandang wajah suaminya.
“Justru abang yang tidak becus. Ibrahim itu anak kita bang, bukan anaknya Kiaji Durahman. Tugas kita yang mendidik, mengajari mengaji Ibrahim. Bukan Kiaji Durahman!”
“Tapi dia kan guru ngaji.”
“Tapi dia juga gak pernah minta dibayar sama kita. Kalau abang tahu, Syekh Az-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’allim mengatakan, mengajar satu huruf dihargai 1000 dirham. 1 huruf sama dengan 2,975 gram perak. Berapa huruf yang sudah diajarkan Kiaji Durahman? Apa abang sanggup membayarnya?” Masrakib mengerutkan kening, heran sama istrinya, kenapa Mastini bisa tahu soal isi kitab itu.
 “Kiaji Durahman belum mengajarkan satu huruf pun pada Ibrahim. Karena Ibrahim belum bisa baca Al-Quran.”
 “Soal Ibrahim bisa tidaknya membaca Al-Quran itu Allah yang berkehendak. Namun yang jelas, yang saya tahu bahwa Kiaji Durahman tak pernah bosan menuntun Ibrahim belajar baca Al-Quran.”
Bulan terlepas dari pelukan awan. Masrakib mulai merasakan bara di dadanya tersiram oleh kata-kata istrinya sejak tadi. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi lapuk di ruang tengah. Mastini membawakannya secangkir air putih untuk melegakan tenggorokan suaminya yang berteriak-teriak, ingin menggampar Kiaji Durahman. Lampu teplok menari-nari oleh gerakan angin melalui celah jendela yang sedikit terbuka.
Besoknya, selepas subuh Masrakib dikejutkan dengan suara mengaji anak kecil, persis Ibrahim suaranya. Tak mungkin Ibrahim, anak itu saja belum mengenal mana huruf Alif mana huruf Ain dan seterusnya, apalagi sampai bisa mengaji sefasih ini di pagi yang teramat dingin. Masrakib memanggil istrinya terlebih dulu sebelum akhirnya ia buka pintu kamar Ibrahim secara diam-diam, tanpa mengganggu kekhusyukan Ibrahim mengaji, dilantukan dengan tilawah yang teramat lembut kedengarannya.
Pasangan suami-istri itu terngangah. Mereka sama sekali tidak menduga jika anak satu-satunya itu sudah bisa membaca Al-Quran selancar itu. Wajah mereka berbinar-binar. Ibrahim menutup Al-Qurannya, menoleh pada kedua orang tuanya dengan senyum mengembang. Tumpah air mata keharuan Mastini. “Saya mimpi Kiaji Durahman. Dia mengajari saya mengaji hingga selancar ini, dan dia memberikan batang lidi ini pada saya,” kata Ibrahim seraya menunjukkan batang lidi dalam genggaman tangannya.
Tiba-tiba saja Masrakib-Mastini dipaksa mengingat soal batang lidi yang disentuhkan ke paha Ibrahim, apakah itu mengartikan bahwa batang lidi itu telah menghisap seluruh kebodohan dalam diri Ibrahim? Mereka tidak dapat menjawabnya, hanya wajah keriput Kiaji Durahman yang terus melintas dalam pejam mata mereka yang berair.


Sumber:Kompas Republika
               CERKAK BAHASA JAWA
Karomah Sak bithing

Tanggal:  9 September , 2018
Cerkak Zainul Muttaqin (Padang Ekspres, 9 September 2018)


       Wong tua lanang iku mlaku pincang-pincang, obah sikilé cedhak- cedhak. Awake rapet ditumpuk ing tongkat ing tangan tengen, wedi yen dheweke tiba. Watuk uga ngguncang dada ping bola-bali, nanging dheweke isih bisa mlaku menyang  langgar sing dibangun dening dheweke. Langgar kasebut  diisi karo  bocah-bocah  tangga sing teko ngaji, saben dina, saben arep adzan magrib.
        Kiaji Durahman, sing ndhuwe langgar lan guru ngaji  iku ora  tau nampa imbalan,, malah dheweke mesti nolak menawa ana wong tuwane bocah-bocah ngaji nyang deweke niat salaman , nyelipake selembar dhuwit ana tangan keripute. Kiaji Durahman langsung ngandika, "Ilmu kula mboten saget didol."
       Langgar kasebut sengaja dibangun dening Kiaji Durahman supaya anak-anak bisa sinau  ngaji . Iki adhedhasar keprihatinan Kiaji Durahman nonton karo mata dhewe akeh warga kampung Tang-Batang ora bisa maca Al Qur'an. Ana mung sawetara wong sing bisa maca, nanging banget ala carane maca Al Qur'an. Mulane Kiaji Durahman ora gelem nampa dhuwit saka wong tuwane. Dheweke uga tau ngandika, "Muga-muga iki bakal dadi panentu kanggo akhirat."
        Ora setitik ngeruk katon lemes ing pasuryan Kiaji Durahman nalika Panjenengané mulang bocah-bocah  tangga iku ngaji,  karo sabar banget tulus kanggo ukuran wong lanang tuwa kaya dheweke.Ora pernah  nyerah Kiaji Durahman goleki cara kanggo nggawe bocah-bocah bisa ngaji lancar. Dheweke ngajar  saka Alif sampek  Ya 'nganti dheweke bisa maca Al Qur'an piyambak, amarga wong tuwane anak nyerah marang Kiaji Durahman.
       Masrakib kaseb ngeterne  Ibrahim, putrane arep ngaji. Sepuluh menit kepungkur, adzan kumandang.. Kiaji Durahman nampi dheweke ing ngarep lawang langgar. Masrakib salaman, ngandhani Kiaji Durahman kudu cepet-cepet bali amarga dheweke isih ana gawean  ing omah. Dheweke uga menehi pitutur supaya Ibrahim dijaga kanthi becik lan diwulangake kanthi cara sing apik uga.
      Telate Ibrahim sampek ing langgar Kiaji Durahman, oleh digoda dening kanca-kancane. Kanthi swara alon, Kiaji Durahman mulang marang Ibrahim supaya bisa ngaji , ngenalake dheweke menyang huruf hijaiyyah. Nganti saiki, sawise meh rong taun Ibrahim  ngaji, durung bisa ngenali huruf hijaiyyah, apa maneh maca Al Qur'an kanthi lancar kaya kanca-kancane. Dheweke bener digolongake minangka bocah sing kurang cepet sinau kanggo sinau Al Qur'an, nanging cepet sinau ilmu sing bener.
Ora mung kuwi, Ibrahim iku paling nakal antarane kanca-kanca. Dheweke kerep nggawe dodo Kiaji Durahman kaget amarga prilaku dheweke, mulane wong tuwa iku tansah bisa ngontrol awake dhewe, menehi awake supaya Ibrahim bisa dadi ganjaran kanggo dheweke yen dheweke sabar karo bocah kuwi.
Ibrahim ora bisa ngalahake serangan Kiaji Durahman, luwih tepat mung ndhelikake sebatang lidi ing paha amarga Ibrahim ora gelem buka mulute, nanging dheweke ngidoni pasuryane Kiaji Durahman. Banjur Ibrahim banjur sesambat, takon bali mulih, ora arep maca maneh. Kiaji Durahman nyoba kanggo ngudi, nanging Ibrahim malah luwih nesu, ngamuk, nendhang awak Kiaji Durahman.
Kanthi katon emosi, Ibrahim mbuwang Al Qur'an menyang puterane Kiaji Durahman. Anak lanang wolung taun lunga metu saka langgar, tindak liwat peteng ing wayah wengi, kondur piyambak. Dipuncariyosaken dening kanca-kancanipun Ibrahim, Ibrahim mirsani putra Masrakib tindak ing wekdal sadurunge ngaji  punika rampung. Kiaji Durahman ngusap dada, mripate nglangi, ndedonga ing sajroning ati, "Muga-muga Allah menehi kaelokan supaya sampeyan bisa maca Al Qur'an kaya  kanca-kanca sabararekanmu.
Ibrahim teka ing omahe pas swara adzan  isya saka langgar Kiaji Durahman. Masrakib nampi dheweke kanthi bathuk dahi kaya garis bobbing. Rauh Masrakib takon marang putrane, "Nyapo kowe mulih? Nyapo ora ngaji? Nyapo nangis? "Pitakonan  iku dijawabIbrahim kanthi nangis. Mastini, garwane Masrakib teka kanggo ngasorake Ibrahim, dheweke ngerti carane nenangake bocah kasebut, banjur takon apa sing kedadeyan.
Banjur Ibrahim ngandika kedadean ing pelanggaran Kiaji Durahman. Ibrahim ngetungake kedadeyan kasebut, marang wong tuwané, yen Kiaji Durahman wis mukul pupune  amarga Ibrahim ora bisa maca Al Qur'an. Masrkib-Mastini, minangka wong, mesthi ora nampi putra tunggal sing dianggep kaya Kiaji Durahman.
Mastini , nyoba mikir kanthi cetha, yen ora bisa ditakoni bocah Kiaji Durahman. Sakwise Mastini ngerti, Kiaji Durahman ora tau kasar marang kabeh bocah sing sinau. Dheweke ndeleng paha Ibrahim, ora ditemokake. Mastini percaya yen Kiaji Durahman mung nutuk tongkat lidi ing pupu anake.
Isi ing siraheMastini njelasne menyang bojone nanging Masrakib tetep tetep ngeculake Kiaji Durahman. "Pukulan kudu kena karo pukulan!" Gegandhengan karo kepala. Masrakib ngagem busanane, nyiapake sore iki uga teka ing Kiaji Durahman.
"Kiaji Durahman minangka guru Al Qur'an anak kita. Sampeyan ora pantes pegel menyang dheweke. . Dheweke ora ditutok  mung didemok dening batang  lidi Kiaji Durahman. "
"Nyapo  Ibrahim bisa nangis?"
"Amarga kesengsaraan. Dheweke ora yakin yen dheweke ora bisa maca Al Qur'an. Inggih, nalika kena Durahman Kiaji pupu  kanggo Ibrahim sing ndhèrèk maca Kiaji Durahman. Ibrahim, sing ora yakin, ora bisa maca, banjur dheweke sesambat lan malah nesu karo Kiaji Durahman. "
"Apa ora Ibrahim bisa maca Al Qur'an? Iku kabeh amarga Kiaji Durahman ora bisa ngajar. "
"Ora becik?" Ujare Mastini kanthi swara takon, ndeleng pasuryan bojone.

"Mesthine sedulur sing ora sopan. Ibrahim iku putra kita, dudu putrane Kiaji Durahman. Tugas pendhidhikan kita, mulangake bacaan Abraham. Ora Kiaji Durahman! "
"Nanging dheweke iku guru kanggo mulang."
"Nanging dheweke uga ora tau ditampa karo kita. Yen sadulur mangerténi, Syekh Az-Zarnuji ing buku Ta'limul Muta'allim ngomong, mulang Aksara cherished 1000 dirhams. 1 huruf yaiku 2,975 gram perak. Carane akeh aksara sing diduweni Kiaji Durahman? Sembarang sadulur saged? "Masrakib sora, kaget ing bojoné, kok Mastini bisa ngerti bab isi buku.
Uga maca: Perkawinan Angels - Short Story of Zainul Muttaqin (Merapi, 10 Agustus 2018)
"Kiaji Durahman durung ngajarake surat kanggo Ibrahim. Amarga Ibrahim ora bisa maca Al Qur'an. "
"Masalah Ibrahim yaiku, yen maca Qur'an iku Allah sing kepengin. Nanging cetha, aku ngerti yen Kiaji Durahman ora tau kesel banget marang Ibrahim kanggo sinau maca Qur'an. "
Rembulan mlayu saka embriya awan. Masrakib wiwit merasakake embers ing dhadha kang doused dening tembung garwane wiwit sadurungé. Panjenenganipun nyandhang awak marang kursi dhasar ing ruang tamu. Mastini nggawa dheweke secangkir banyu kanggo ngenthengake tenggorokan bojone sing njerit, kepingin ngampet Kiaji Durahman. Lampu Teplok nari kanthi gerakan angin liwat jurang jendhela sing rada mbukak.
Dina sabanjuré, sawisé srengéngé Masrakib kaget kanthi swara ngucapaké bocah sing cilik, kanthi swara sing nyata Ibrahim. Ora mungkin Ibrahim, sing mung bocah ora ngerti huruf apa Alif iku huruf Ain lan liya-liyane, supaya bisa maca karep iki ing wayah esuk banget. Masrakib ngajak bojone luwih dhisik sadurunge dheweke mbuka lawang kamar Ibrahim kanthi diam-diam, tanpa nggegirisi kabecikane Ibrahim kanggo maca, diiringi recite sing alus.
Bojone lan garwane padha kesengsem. Dheweke ora ngandel yen anak mung bisa maca Quran surfing. Pasuryané padha sparkled. Ibrahim nutup al-Quran, nguripake marang wong tuwané kanthi eseman sing ngembang. Mastini luh saka luh sing anyar. "Aku ngimpi Kiaji Durahman. Dheweke ngajar aku sinau surfing iki, lan dheweke menehi kula tongkat iki, "ujare Ibrahim, nuduhake teken ing tangane.
Tiba-tiba Masrakib-Mastini dipeksa kanggo ngeling-eling tongkat sing dicegat kanggo paha Ibrahim, apa tegese yen teken wis nyedhot kabeh kabodhangan ing Ibrahim? Dheweke ora bisa mangsuli, nanging mung pasuryane Kiaji Durahman terus ngliwati matanya



Sumber:Kompas Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar