TUGAS
BAHASA
JAWA
NAMA
KELOMPOK :
1) AVRILIA ENDAH R.S (22)
2) DWI LESTARI (34)
3) EFIANA MUSLIKATIN (36)
4) EKA NURJANAH (37)
CERPEN
BAHASA INDONESIA
Karomah
Sebatang Lidi
Tanggal: 9 September , 2018
Cerpen Zainul
Muttaqin (Padang Ekspres, 09 September 2018)

Laki-laki sepuh itu berjalan terpincang-pincang, gerak kakinya
pendek-pendek. Tubuh ringkihnya
ditumpukan pada sebatang tongkat di tangan kanannya, takut sewaktu-waktu ia
terjatuh. Derai batuk juga menggguncang dadanya berkali-kali, tapi tetap saja
ia memaksakan diri berjalan menuju langgar yang ia dirikan di samping rumahnya.
Langgar itu dipenuhi oleh anak-anak tetangga yang datang mengaji, selalu setiap
hari, setiap menjelang adzan magrib.
Kiaji
Durahman, pemilik langgar sekaligus guru ngaji itu tak pernah menerima imbalan,
bahkan ia selalu menolak ketika ada orang tua anak-anak yang mengaji kepadanya
berniat salaman, menyelipkan selembar uang pada tangan keriputnya. Serta merta
Kiaji Durahman mengucap, “Ilmu saya tidak untuk dijual.
Langgar
itu sengaja dibangun oleh Kiaji Durahman supaya anak-anak bisa belajar mengaji.
Hal ini berdasarkan keprihatinan Kiaji Durahman menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri banyak warga kampung Tang-Batang tidak bisa membaca Al-Quran.
Hanya ada segelintir orang yang bisa baca, tetapi sangat buruk sekali cara baca
Al-Qurannya. Itulah mengapa Kiaji Durahman tak pernah sudi menerima sepeser pun
uang dari para orangtua anak-anak itu. Ia juga pernah berkata, “Semoga ini
menjadi bekal akhirat.”
Tidak
sedikit pun terlihat gurat kelelahan di wajah Kiaji Durahman ketika ia mengajari
anak-anak tetangga itu mengaji, dengan telaten, dengan kesabaran yang teramat
tulus untuk ukuran lelaki renta seperti dia. Tidak pernah menyerah Kiaji
Durahman mencari cara bagaimana agar anak-anak itu fasih mengaji. Ia
mengajarinya mulai dari Alif hingga Ya’ sampai kemudian bisa membaca Al-Quran
sendiri, karena orang tua anak-anak itu pasrah sepenuhnya kepada Kiaji
Durahman.
Masrakib
terlambat mengantar Ibrahim, anaknya itu untuk mengaji. Sepuluh menit yang lalu
adzan berkumandang. Kiaji Durahman menyambutnya di bibir pintu langgar.
Masrakib bersalaman, mengatakan pada Kiaji Durahman harus buru-buru pulang
karena masih ada pekerjaan di rumah. Ia juga berpesan agar Ibrahim dijaga
baik-baik dan diajari mengaji dengan cara baik-baik pula.
Keterlambatan Ibrahim tiba di langgar Kiaji
Durahman mendapat ledekan dari teman-temannya. Dengan suara yang lirih, Kiaji
Durahman mengajari Ibrahim mengaji, mengenalkannya pada huruf-huruf hijaiyyah.
Sampai saat ini, setelah hampir dua tahun Ibrahim mengaji, belum juga ia bisa
mengenali huruf-huruf hijaiyyah, apalagi membaca Al-Quran dengan lancar seperti
teman-teman sebayanya. Ia memang tergolong anak yang kurang cepat dalam belajar
mengaji, tetapi cepat dalam belajar ilmu-ilmu eksak.
Tidak hanya itu,
Ibrahim terbilang paling nakal di antara teman-temannya. Ia sering membuat dada
Kiaji Durahman hampir meledak lantaran tingkahnya, untung saja laki-laki sepuh
itu selalu saja dapat mengontrol diri, menabahkan diri bahwa Ibrahim bisa
menjadi ladang pahala baginya kalau ia sabar menghadapi bocah itu.
Kenakalan Ibrahim kali
ini harus membuat Kiaji Durahman memukulkan, lebih tepatnya hanya menyentuhkan
sebatang lidi pada paha bocah itu gara-gara Ibrahim tak mau membuka mulutnya
untuk mengaji, malah ia meludah ke wajah Kiaji Durahman. Tak lama kemudian
Ibrahim menangis, meminta segera pulang, tak mau mengaji lagi. Kiaji Durahman
berusaha membujuk, namun justru Ibrahim semakin berang, mengamuk,
menendang-nendang tubuh Kiaji Durahman.
Dengan rupa emosi,
Ibrahim melempar Al-Quran ke pangkuan Kiaji Durahman. Bocah delapan tahun itu
keluar dari langgar, berjalan tergesa-gesa menembus gelap malam hari, pulang
sendirian. Tercengang teman-teman sebaya Ibrahim melihat anak lelaki Masrakib
itu pulang sebelum pelajaran mengaji selesai. Kiaji Durahman mengelus dada,
matanya berair, berdoa diam-diam dalam hatinya, “Semoga Allah memberimu
keajaiban sehingga kamu bisa membaca Al-Quran seperti teman-teman sebayamu.”
Ibrahim tiba di
rumahnya bertepatan dengan suara adzan isya dari langgar Kiaji Durahman. Masrakib menyambutnya dengan dahi berkerut
seperti garis terombang-ambing. Segera Masrakib bertanya pada anaknya, “Kenapa
kamu pulang? Kenapa gak mengaji? Kenapa menangis?” Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab
Ibrahim dengan tangis yang kian menderu. Mastini, istrinya Masrakib itu datang
memeluk Ibrahim, ia tahu bagaimana cara menenangkan anak, barulah kemudian
bertanya perihal apa yang terjadi.
Kemudian Ibrahim
menuturkan kejadian di langgar Kiaji Durahman. Ibrahim melebihkan peristiwa
itu, mengatakan pada kedua orang tuanya kalau Kiaji Durahman telah memukul
pahanya hanya karena Ibrahim tak bisa membaca Al-Quran. Masrkib-Mastini,
sebagai orang tentulah tidak terima anak lelaki satu-satunya diperlakukan
semacam itu oleh Kiaji Durahman. Wajah Masrakib meradang, ingin rasanya ia
memaki, mengumpat dan kalau perlu balas memukul pada Kiaji Durahman.
Mastini menghela napas,
coba berpikir paling jernih, bahwa tidak mungkin Kiaji Durahman memukul
anaknya. Sepengetahuan Mastini selama ini Kiaji Durahman tak pernah kasar pada
semua anak yang mengaji kepadanya. Ia melihat paha Ibrahim, tidak ditemukan
bekas pukulan apa-apa. Mastini berkeyakinan Kiaji Durahman hanya menyentuhkan
batang lidi pada paha anaknya.
Isi dalam tempurung
kepala Mastini dijelaskan kepada suaminya, tetapi Masrakib tetap bersikukuh
melabrak Kiaji Durahman. “Pukulan harus dibalas dengan pukulan!” Menggelengkan
kepala Mastini melihat tingkah suaminya dirasa diluar batas kewajaran. Masrakib
memakai bajunya, bersiap malam ini juga mendatangi Kiaji Durahman.
“Kiaji Durahman itu guru ngaji anak kita. Tidak
pantas kau semarah itu padanya. Lagi pula Ibrahim saja terlalu melebihkan. Ia
tidak dipukul, hanya disentuh oleh batang lidi Kiaji Durahman.”
“Kenapa Ibrahim bisa sampai menangis?”
“Karena minder. Ia minder belum bisa baca Al-Quran.
Nah, pada saat itu Kiaji Durahman menyentuhkan batang lidi ke paha Ibrahim agar
ia mengikuti bacaan Kiaji Durahman. Ibrahim yang merasa minder, tidak bisa
baca, lalu ia menangis dan malah marah-marah pada Kiaji Durahman.”
“Kenapa Ibrahim belum bisa baca Al-Quran? Itu semua
gara-gara Kiaji Durahman tidak becus mengajarinya.”
“Tidak becus?” Mastini berkata dengan nada bertanya,
memandang wajah suaminya.
“Justru abang yang tidak becus. Ibrahim itu anak
kita bang, bukan anaknya Kiaji Durahman. Tugas kita yang mendidik, mengajari
mengaji Ibrahim. Bukan Kiaji Durahman!”
“Tapi dia kan guru ngaji.”
“Tapi dia juga gak pernah minta dibayar sama kita.
Kalau abang tahu, Syekh Az-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’allim mengatakan,
mengajar satu huruf dihargai 1000 dirham. 1 huruf sama dengan 2,975 gram perak.
Berapa huruf yang sudah diajarkan Kiaji Durahman? Apa abang sanggup
membayarnya?” Masrakib mengerutkan kening, heran sama istrinya, kenapa Mastini
bisa tahu soal isi kitab itu.
“Kiaji
Durahman belum mengajarkan satu huruf pun pada Ibrahim. Karena Ibrahim belum
bisa baca Al-Quran.”
“Soal Ibrahim
bisa tidaknya membaca Al-Quran itu Allah yang berkehendak. Namun yang jelas,
yang saya tahu bahwa Kiaji Durahman tak pernah bosan menuntun Ibrahim belajar
baca Al-Quran.”
Bulan terlepas dari
pelukan awan. Masrakib mulai merasakan bara di dadanya tersiram oleh kata-kata
istrinya sejak tadi. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi lapuk di ruang tengah.
Mastini membawakannya secangkir air putih untuk melegakan tenggorokan suaminya
yang berteriak-teriak, ingin menggampar Kiaji Durahman. Lampu teplok
menari-nari oleh gerakan angin melalui celah jendela yang sedikit terbuka.
Besoknya, selepas subuh
Masrakib dikejutkan dengan suara mengaji anak kecil, persis Ibrahim suaranya.
Tak mungkin Ibrahim, anak itu saja belum mengenal mana huruf Alif mana huruf
Ain dan seterusnya, apalagi sampai bisa mengaji sefasih ini di pagi yang
teramat dingin. Masrakib memanggil istrinya terlebih dulu sebelum akhirnya ia
buka pintu kamar Ibrahim secara diam-diam, tanpa mengganggu kekhusyukan Ibrahim
mengaji, dilantukan dengan tilawah yang teramat lembut kedengarannya.
Pasangan suami-istri
itu terngangah. Mereka sama sekali tidak menduga jika anak satu-satunya itu
sudah bisa membaca Al-Quran selancar itu. Wajah mereka berbinar-binar. Ibrahim
menutup Al-Qurannya, menoleh pada kedua orang tuanya dengan senyum mengembang.
Tumpah air mata keharuan Mastini. “Saya mimpi Kiaji Durahman. Dia mengajari
saya mengaji hingga selancar ini, dan dia memberikan batang lidi ini pada
saya,” kata Ibrahim seraya menunjukkan batang lidi dalam genggaman tangannya.
Tiba-tiba saja
Masrakib-Mastini dipaksa mengingat soal batang lidi yang disentuhkan ke paha
Ibrahim, apakah itu mengartikan bahwa batang lidi itu telah menghisap seluruh
kebodohan dalam diri Ibrahim? Mereka tidak dapat menjawabnya, hanya wajah
keriput Kiaji Durahman yang terus melintas dalam pejam mata mereka yang berair.
Sumber:Kompas
Republika
CERKAK BAHASA JAWA
Karomah
Sak bithing
Tanggal: 9 September
, 2018
Cerkak Zainul Muttaqin (Padang Ekspres, 9 September
2018)

Wong
tua lanang iku mlaku pincang-pincang, obah sikilé cedhak- cedhak. Awake rapet
ditumpuk ing tongkat ing tangan tengen, wedi yen dheweke tiba. Watuk uga
ngguncang dada ping bola-bali, nanging dheweke isih bisa mlaku menyang langgar sing dibangun dening dheweke. Langgar
kasebut diisi karo bocah-bocah
tangga sing teko ngaji, saben dina, saben arep adzan magrib.
Kiaji
Durahman, sing ndhuwe langgar lan guru ngaji iku ora
tau nampa imbalan,, malah dheweke mesti nolak menawa ana wong tuwane
bocah-bocah ngaji nyang deweke niat salaman , nyelipake selembar dhuwit ana
tangan keripute. Kiaji Durahman langsung ngandika, "Ilmu kula mboten saget
didol."
Langgar
kasebut sengaja dibangun dening Kiaji Durahman supaya anak-anak bisa sinau ngaji . Iki adhedhasar keprihatinan Kiaji
Durahman nonton karo mata dhewe akeh warga kampung Tang-Batang ora bisa maca Al
Qur'an. Ana mung sawetara wong sing bisa maca, nanging banget ala carane maca
Al Qur'an. Mulane Kiaji Durahman ora gelem nampa dhuwit saka wong tuwane.
Dheweke uga tau ngandika, "Muga-muga iki bakal dadi panentu kanggo
akhirat."
Ora
setitik ngeruk katon lemes ing pasuryan Kiaji Durahman nalika Panjenengané mulang
bocah-bocah tangga iku ngaji, karo sabar banget tulus kanggo ukuran wong
lanang tuwa kaya dheweke.Ora pernah nyerah Kiaji Durahman goleki cara kanggo
nggawe bocah-bocah bisa ngaji lancar. Dheweke ngajar saka Alif sampek Ya 'nganti dheweke bisa maca Al Qur'an
piyambak, amarga wong tuwane anak nyerah marang Kiaji Durahman.
Masrakib
kaseb ngeterne Ibrahim, putrane arep
ngaji. Sepuluh menit kepungkur, adzan kumandang.. Kiaji Durahman nampi dheweke
ing ngarep lawang langgar. Masrakib salaman, ngandhani Kiaji Durahman kudu cepet-cepet
bali amarga dheweke isih ana gawean ing
omah. Dheweke uga menehi pitutur supaya Ibrahim dijaga kanthi becik lan
diwulangake kanthi cara sing apik uga.
Telate
Ibrahim sampek ing langgar Kiaji Durahman, oleh digoda dening kanca-kancane.
Kanthi swara alon, Kiaji Durahman mulang marang Ibrahim supaya bisa ngaji ,
ngenalake dheweke menyang huruf hijaiyyah. Nganti saiki, sawise meh rong taun
Ibrahim ngaji, durung bisa ngenali huruf
hijaiyyah, apa maneh maca Al Qur'an kanthi lancar kaya kanca-kancane. Dheweke
bener digolongake minangka bocah sing kurang cepet sinau kanggo sinau Al
Qur'an, nanging cepet sinau ilmu sing bener.
Ora mung kuwi, Ibrahim
iku paling nakal antarane kanca-kanca. Dheweke kerep nggawe dodo Kiaji Durahman
kaget amarga prilaku dheweke, mulane wong tuwa iku tansah bisa ngontrol awake
dhewe, menehi awake supaya Ibrahim bisa dadi ganjaran kanggo dheweke yen
dheweke sabar karo bocah kuwi.
Ibrahim ora bisa
ngalahake serangan Kiaji Durahman, luwih tepat mung ndhelikake sebatang lidi ing
paha amarga Ibrahim ora gelem buka mulute, nanging dheweke ngidoni pasuryane
Kiaji Durahman. Banjur Ibrahim banjur sesambat, takon bali mulih, ora arep maca
maneh. Kiaji Durahman nyoba kanggo ngudi, nanging Ibrahim malah luwih nesu,
ngamuk, nendhang awak Kiaji Durahman.
Kanthi katon emosi,
Ibrahim mbuwang Al Qur'an menyang puterane Kiaji Durahman. Anak lanang wolung
taun lunga metu saka langgar, tindak liwat peteng ing wayah wengi, kondur
piyambak. Dipuncariyosaken dening kanca-kancanipun Ibrahim, Ibrahim mirsani
putra Masrakib tindak ing wekdal sadurunge ngaji punika rampung. Kiaji Durahman ngusap dada,
mripate nglangi, ndedonga ing sajroning ati, "Muga-muga Allah menehi
kaelokan supaya sampeyan bisa maca Al Qur'an kaya kanca-kanca sabararekanmu.
Ibrahim teka ing omahe
pas swara adzan isya saka langgar Kiaji
Durahman. Masrakib nampi dheweke kanthi bathuk dahi kaya garis bobbing. Rauh
Masrakib takon marang putrane, "Nyapo kowe mulih? Nyapo ora ngaji? Nyapo
nangis? "Pitakonan iku
dijawabIbrahim kanthi nangis. Mastini, garwane Masrakib teka kanggo ngasorake
Ibrahim, dheweke ngerti carane nenangake bocah kasebut, banjur takon apa sing
kedadeyan.
Banjur Ibrahim ngandika
kedadean ing pelanggaran Kiaji Durahman. Ibrahim ngetungake kedadeyan kasebut,
marang wong tuwané, yen Kiaji Durahman wis mukul pupune amarga Ibrahim ora bisa maca Al Qur'an.
Masrkib-Mastini, minangka wong, mesthi ora nampi putra tunggal sing dianggep
kaya Kiaji Durahman.
Mastini , nyoba mikir
kanthi cetha, yen ora bisa ditakoni bocah Kiaji Durahman. Sakwise Mastini
ngerti, Kiaji Durahman ora tau kasar marang kabeh bocah sing sinau. Dheweke
ndeleng paha Ibrahim, ora ditemokake. Mastini percaya yen Kiaji Durahman mung
nutuk tongkat lidi ing pupu anake.
Isi ing siraheMastini njelasne menyang bojone nanging
Masrakib tetep tetep ngeculake Kiaji Durahman. "Pukulan kudu kena karo
pukulan!" Gegandhengan karo kepala. Masrakib ngagem busanane, nyiapake
sore iki uga teka ing Kiaji Durahman.
"Kiaji Durahman minangka guru Al Qur'an anak
kita. Sampeyan ora pantes pegel menyang dheweke. . Dheweke ora ditutok mung didemok dening batang lidi Kiaji Durahman. "
"Nyapo Ibrahim bisa nangis?"
"Amarga kesengsaraan. Dheweke ora yakin yen
dheweke ora bisa maca Al Qur'an. Inggih, nalika kena Durahman Kiaji pupu kanggo Ibrahim sing ndhèrèk maca Kiaji
Durahman. Ibrahim, sing ora yakin, ora bisa maca, banjur dheweke sesambat lan
malah nesu karo Kiaji Durahman. "
"Apa ora Ibrahim bisa maca Al Qur'an? Iku kabeh
amarga Kiaji Durahman ora bisa ngajar. "
"Ora becik?" Ujare Mastini kanthi swara
takon, ndeleng pasuryan bojone.
"Mesthine sedulur sing ora sopan. Ibrahim iku
putra kita, dudu putrane Kiaji Durahman. Tugas pendhidhikan kita, mulangake
bacaan Abraham. Ora Kiaji Durahman! "
"Nanging dheweke iku guru kanggo mulang."
"Nanging dheweke uga ora tau ditampa karo kita.
Yen sadulur mangerténi, Syekh Az-Zarnuji ing buku Ta'limul Muta'allim ngomong,
mulang Aksara cherished 1000 dirhams. 1 huruf yaiku 2,975 gram perak. Carane
akeh aksara sing diduweni Kiaji Durahman? Sembarang sadulur saged?
"Masrakib sora, kaget ing bojoné, kok Mastini bisa ngerti bab isi buku.
Uga maca: Perkawinan Angels - Short Story of Zainul
Muttaqin (Merapi, 10 Agustus 2018)
"Kiaji Durahman durung ngajarake surat kanggo
Ibrahim. Amarga Ibrahim ora bisa maca Al Qur'an. "
"Masalah Ibrahim yaiku, yen maca Qur'an iku
Allah sing kepengin. Nanging cetha, aku ngerti yen Kiaji Durahman ora tau kesel
banget marang Ibrahim kanggo sinau maca Qur'an. "
Rembulan mlayu saka embriya awan. Masrakib wiwit
merasakake embers ing dhadha kang doused dening tembung garwane wiwit
sadurungé. Panjenenganipun nyandhang awak marang kursi dhasar ing ruang tamu.
Mastini nggawa dheweke secangkir banyu kanggo ngenthengake tenggorokan bojone
sing njerit, kepingin ngampet Kiaji Durahman. Lampu Teplok nari kanthi gerakan
angin liwat jurang jendhela sing rada mbukak.
Dina sabanjuré, sawisé srengéngé Masrakib kaget
kanthi swara ngucapaké bocah sing cilik, kanthi swara sing nyata Ibrahim. Ora
mungkin Ibrahim, sing mung bocah ora ngerti huruf apa Alif iku huruf Ain lan
liya-liyane, supaya bisa maca karep iki ing wayah esuk banget. Masrakib ngajak
bojone luwih dhisik sadurunge dheweke mbuka lawang kamar Ibrahim kanthi
diam-diam, tanpa nggegirisi kabecikane Ibrahim kanggo maca, diiringi recite
sing alus.
Bojone lan garwane padha kesengsem. Dheweke ora
ngandel yen anak mung bisa maca Quran surfing. Pasuryané padha sparkled.
Ibrahim nutup al-Quran, nguripake marang wong tuwané kanthi eseman sing
ngembang. Mastini luh saka luh sing anyar. "Aku ngimpi Kiaji Durahman.
Dheweke ngajar aku sinau surfing iki, lan dheweke menehi kula tongkat iki,
"ujare Ibrahim, nuduhake teken ing tangane.
Tiba-tiba Masrakib-Mastini dipeksa kanggo
ngeling-eling tongkat sing dicegat kanggo paha Ibrahim, apa tegese yen teken
wis nyedhot kabeh kabodhangan ing Ibrahim? Dheweke ora bisa mangsuli, nanging
mung pasuryane Kiaji Durahman terus ngliwati matanya
Sumber:Kompas
Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar